Sumber
dan Metode Penetapan Hukum Islam
- Latar Belakang Masalah
Konsep penemuan hukum merupakan teori hukum terbuka yang
pada pokoknya bahwa suatu aturan yang telah dimuat dalam ketentuan-ketentuan
hukum yang ada dalam Al Quran dan Hadis serta hukum postif (baca ;
undang-undang, qanun dan fiqh) dapat saja dirubah maknanya,
meskipun tidak ada diubah kata-katanya guna direlevasikan dengan fakta konkrit
yang ada. Keterbukaan sistem hukum karena terjadi kekosongan hukum, baik karena
belum ada undang-undangnya maupun undang-undang tidak jelas. Persoalan hukum
yang tidak jelas bunyi teks suatu undang-undang, maka dalam metode penemuan
hukum dapat dilakukan dengan beberapa metode seperti metode bayani, ta’lili
dan istislahi.
Memperhatikan jenis-jenis metode
penemuan hukum ataupun metode penerapan
hukum dalam ilmu hukum Islam (istinbath al-hukm) dan
penerapan hukum (tathbiq alhukm), dalam hukum Islam sebenarnya tidak
jauh berbeda dengan metode penemuan hukum dan penerapan hukum yang digunakan
oleh praktisi hukum umum. Demikian pula dengan metode yang diberlakukan dalam
suatu negara menurut hukum Islam yang telah dikemukan oleh para Juris Islam (fuqaha‟) dan sangat mendasar metode yang mereka
temukan, seperti pemahaman hukum yang terdapat dalam teks hukum dikaji dengan
metode seperti dengan metode hermeneutika maupun dari segi bahasanya yang
disebut UshulFiqh. Di dalam ilmu Ushul Fiqh dirumuskan metode memahami
hukum Islam dan memahami dalil-dalil hukum yang mana dengan dalil-dalil
tersebut dibangun hukum Islam
yang ketentuan hukumnya sesuai dengan akal sehat (a
reasionable assumption). Imam Syafi‟i contohnya
mempunyai jasa dan andil yang besar sebagai pendiri atau guru arsitek Ushul
Fiqh dalam kitabnya “Ar Risalah” yang tidak hanya karya pertamanya
membahasa Ushul Fiqh, tetapi juga sebagai model bagi ahli-ahli hukum dan para
teorisasi yang muncul
kemudian.
Cara pandang dan interpretasi yang
berbeda dalam keanekaragaman pemahaman orang Islam terhadap hakikat hukum Islam
telah berimplikasi dalam sudut aplikasinya.[1] M. Atho Mudzhar misalnya menjelaskan cara
pandang yang berbeda dalam bidang pemikiran hukum Islam menurutnya dibagi
menjadi empat jenis, yakni kitab-kitab fiqh, keputusan-keputusan Pengadilan
agama, peraturan Perundang-undangan di negeri-negeri muslim dan fatwa-fatwa
ulama.[2]
Metode pengembangan hukum Islam yang
telah diletakan oleh Imam Mujtahid (Abu Hanifah 699-767 M, Malik bin Anas
714-795 M, Muhamad Idris Asy-Syafi‟i 767-819 M,
dan Ahmad bin Hanbal 780-855 M) dan dijadikan dasar pijakkan untuk menemukan
hukum dan penerapan hukum, maupun memberlakukan hukum dalam suatu negara.
Metode yang dijelaskan secara rinci dalam Ushul Fiqh menurut Tahir Muhmood
merupakan asas hukum di berbagai negara Islam dan di dalam pembaharuan
hukumnya, yaitu motode musawati mazhabib al-fiqh (equality of the
schools of Islamic law) istihsan (juristic equality), mashalih
al-mursalah / istislahi (public interest), siyasah syari’ah
(legislative equality) istidlal (juristic reasioning), taudi’ (legislation),
tadwin (codivication) dan lain sebagainya.[3]
- Sumber Hukum Islam
Islam adalah agama dan cara hidup
berdasarkan syariat Allah yang terkandung dalam kitab Al-Quran dan Sunnah
Rasulullah SAW. Setiap orang yang mengintegrasikan dirinya kepada Islam wajib
membentuk seluruh hidup dan kehidupannya berdasarkan syariat yang termaktub
dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Hal tersebut sebagaimana diungkap oleh Yusuf
Qardhawi, syariat Ilahi yang tertuang dalam Al-Quran dan Sunnah merupakan dua
pilar kekuatan masyarakat Islam dan agama Islam merupakan suatu cara hidup dan
tata sosial yang memiliki hubungan integral, utuh menyeluruh dengan kehidupan -
idealnya Islam ini tergambar dalam dinamika hukum Islam yang merupakan suatu
hukum yang serba mencakup.[4]
Pengejawantahan syari’at Islam atas dua
sumber utama dan pertama syari’at Islam dewasa ini tidaklah semudah membalikkan
tangan. Era mekanisasai dan modernisasi telah menempatkan manusia menjadi
bagian dari perkembangan yang penuh dengan kontroversi, tantangan dan persaiangan
yang menyebabkan munculnya nilai dan kebutuhan baru bagi mereka yang tidak lagi
sekedar sederhana. Eksistensi syari’at Islam yang konsisten pada prinsip dan
asasnya tidaklah harus statis, tetapi justeru harus fleksibel dan dapat
mereduksi perkembangan dan kemajuan kehidupan manusia.
Sebagaimana dibahasakan Hasan Bisri hal
tersebut merupakan kegiatan reaktualisasi Islam, dimana secara garis besarnya
adalah menekankan pada pengejawantahan Islam dengan me-reinterpretasi sumber
hukum Islam dengan menggunakan kebutuhan, situasai, dan kondisi dewasa ini
sebagai paradigmanya.[5]
- Definisi Sumber Hukum
Kata sumber merupakan terjemahan dari
lafadl المصدر , yang jama’nya المصادر yang mempunyai
arti asal dari segala sesuatu dan tempat merujuk sesuatu.[6] Dan apabila dikaitkan dengan hukum Islam,
hukum Islam maka akan menjadi مصادر الأحكام (sumber-sumber
hukum Islam). Namun kata tersebut dalam kitab-kitab klasik yang dihasilkan oleh
para ulama salaf, baik ulama-ulama fiqh maupun ulama ushul fiqh tidak pernah
ditemukan, karena penggunaan kata sumber dalil dalam kajian hukum Islam, mereka
selalu menggunakan istilah dalil-dalil syara’.[7]
Abdul Wahab Khalaf dalam kitabnya ‘Ilm
Ushul al-Fiqh menjelaskan tentang arti dalil, bahwa landasan berfikir yang
bersifat qath’i disebut dalil, sedangkan yang bersifat dzhanni tidak dinamakan dalil. Bahwa ادلة الأحكام (dalil-dalil
hukum) identik dengan اصول الأحكام (dasar-dasar
hukum) danالأحكام مصادر (sumber-sumber
hukum).[8]
Menurut Wahbah al-Zuhaily, kata dalil
memiliki pengertian suatu petunjuk yang dijadikan landasan berfikir yang benar
dalam menentukan hukum syara’ yang bersifat praktis, baik statusnya qath’i maupun dzanni.[9]
Jika dihubungkan dengan kata syari’at,
kata مصادر dan ادلة akan mempunyai
arti yang berbeda. Kata mashdar yang memiliki arti wadah, yang melalui wadah
tersebut digali norma-norma hukum tertentu. Sedangkan kata dalil berarti
petunjuk yang membawa kita menemukan hukum tertentu.[10]
Apabila dilihat dari definisi di atas,
menurut Satria Effendi bahwa sumber dalil ushul fiqh hanya dapat digunakan
untuk al-Qur’an dan as-Sunnah saja, karena keduanya merupakan wadah yang dapat
digali hukumnya dan tidak bagi ijma’ dan qiyas dan yang lainnya, karena sumber
tersebut bukanlah wadah tetapi sudah merupakan metode untuk menemukan hukum.[11]
- Landasan Sumber Hukum
Sebagaimana yang telah dijelaskan di
atas, ada beberapa rujukan yang dapat dijadikan landasan sumber dalil.
a.
Al-Qur’an surat
An-Nisa ayat 59:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä
(#qãèÏÛr& ©!$#
(#qãèÏÛr&ur
tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$#
óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû
&äóÓx« çnrãsù
n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur
bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur
ÌÅzFy$#
4 y7Ï9ºs ×öyz ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's?
ÇÎÒÈ
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Perintah untuk mengikuti Allah dan
rasul-Nya adalah perintah untuk mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sedang
perintah untuk mentaati orang yang memegang kekuasaan ialah perintah untuk
untuk mengikuti hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan yang dibuat dan disetujui
oleh badan-badan yang mempunyai kekuasaan membuat undang-undang dari golongan
kaum muslimin. Adapun perintah untuk memulangkan perkara yang di perselisihkan
kepada Allah dan Rasul-Nya adalah perintah untuk menggunakan analogi (qiyas),
selama tidak ada nash dan ijma’.
Yang dimaksud dengan tertib dalam ber-istidlal dari dalil al-Qur’an, as-Sunnah,
al-Ijma dan al-Qiyas ialah apabila terdapat suatu kejadian yang memerlukan
ketetapan hukum pertama-tama hendaklah dicari terlebih dahulu di dalam
al-Qur’an, ditetapkanlah hukum sesuai dengan yang ditunjuk oleh al-Qur’an.
Tetapi apabila ketetapan hukumnya tidak ditemukan di dalam al-Qur’an barulah
beralih meneliti as-Sunnah. Tetapi apabila ketetapan hukumnya tidak ditemukan
di dalam as-sunnah, barulah beralih meneliti keputusan para mujtahid yang
menjadi ijma’ dari masa ke masa tentang masalah yang sedang dicari hukumnya
itu. Tetapi apabila ketetapan hukumnya tidak ditemukan di dalam ijma, maka
hendaklah berusaha dengan jalan menganalogikannya kepada peristiwa yang sejenis
yang telah ada nashnya.[12]
b.
Hadits riwayat
Abu Daud dari Anas bin Malik :
Adapun sebagai dasar hukum keharusan menertibkan jenjang
dalam ber-istidlal dengan 4 macam
dalil hukum tersebut ialah wawancara Rasulullah Saw dengan Muadz bin jabal
sesaat ia dilantik sebagai penguasa untuk negeri Yaman. Kata berliau:
عن انس ان رسول الله لما اراد ان يبعث معاذا الى اليمن
قال: كيف تقضى اذا عرض لك قضاء, قال أقضى بكتاب الله, قال فان لم تجد فى كتاب
الله, قال فبسنة رسول الله, قال فان لم تجد فى سنة رسول الله و قال أجتهد
رأيى ولا الو, فضرب رسول الله صلى الله عليه وسلم صدره, وقال الحمدلله الذي وفق
رسول الله لما يرضى الله ورسوله.(رواه احمد وابو داود والترمذى)
Artinya:
Dari Anas bin Malik, sesungguhnya Rasul Saw ketika akan mengutus Muadz ke
Yaman. Beliau bersabda: Bagaimana caranya kamu memutuskan perkara yang
dikemukakan padamu?” “Kuhukumi dengan kitab Allah,” Jawabnya, “Jika kamu tidak
mendapatkannya di dalam kitab Allah, lantas bagaimana? Sambung Rasulullah,
“Dengan Sunnah Rasulullah, lalu bagaimana? tanya Rasulullah lebih lanjut, “ Aku
akan menggunakan ijtihad pikiranku dan aku tidak akan meninggalkannya,”
jawabnya dengan tegas. Rasululllah Saw, lalu menepuk dadanya seraya memuji,
katanya, Alhamdulillah, Allah telah memberi taufiq kepada utusan rasulullah
sesuai dengan apa yang diridhai Allah dan Rasul-Nya. (HR. Ahmad,
Abu Dawud dan al-Turmudzi)
c.
Sejarah sahabat
Menurut riwayat al-Baghawi yang diterima dari Maimun bin
Mahram bahwa Abu Bakar jika hendak menyelesaikan suatu perkara yang dimintakan
penyelesaiannya oleh orang yang bersangkutan, dan beliau tidak memperoleh hasil
dari penelitiannya terhadap nash-nash di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah lalu
mengundang tokoh-tokoh agama untuk memusyawarahkannya. Kalau mereka telah
mengambil putusan secara bulat terhadap perkara tersebut, beliau lalu
menjalankan putusan itu. Umar bi Khattab pun menjalankan tindakan seperti apa
yang dilakukan Abu Bakar tersebut.[13]
- Sumber Hukum dalam Islam
Dalam pembahasan ini terdapat sedikit
kerumitan karena persoalan teologis yang berkaitan dengan penjelasan mengenai
sumber hukum. Secara empiris, hukum yang sekarang berkembang di masyarakat
mempunyai beberapa istilah teknis yang secara implisit menunjukkan penentu
(sumber) hukum.
Sumber hukum Islam berasal dari sumber
Ilahi dan potensi-potensi insani. Oleh karena itu, pada dasarnya, sumber hukum
Islam ada yang naqliyyah dan aqliyyah. Sehingga, seringkali para
pakar hukum Islam menyatakan bahwa sumber hukum ada tiga, Pertama al-Qur’an;
kedua Sunnah; dan ketiga ijtihad.[14] Ijma’, qiyas, istihsan dan sebagainya
tidak lagi disebut sebagai sumber hukum Islam karena semuanya merupakan hasil
ijtihad.
Menurut Khallaf bahwa ulama mujtahid
telah sepakat mengenai Allah Swt. sebagai sumber hukum. Menurutnya kesepakatan
itu bisa dilihat dari definisi hukum yang dikemukakan. Menurut pakar Ushul
Fikih, hukum adalah perintah Allah yang berkaitan dengan perbuatan Muslim dewasa,
baik berupa tuntutan untuk berbuat, pilihan, maupun praktek hukum yang
berkaitan dengan sebab, syarat, dan halangan-halangannya. Mereka sepakat bahwa
sumber hukum adalah Allah Swt.[15]
Dengan
demikian, sumber hukum tertinggi adalah al-Qur’an, karena ia diyakini sebagai
firman Allah.
Sumber hukum yang kedua adalah Sunnah.
Sunnah atau hadits adalah perkataan, perbuatan, ketetapan dan sifat yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw[16]. Oleh karena
itu, Nabi Muhammad Saw adalah sumber hukum karena beliau juga berkedudukan
sebagai penentu hukum. Hal ini karena terdapat sejumlah ketentuan dalam hadits
yang tidak terdapat dalam kitab suci al-Qur’an.[17]
Ketentuan yang terdapat dalam al-Qur’an
dan hadits terkadang tidak menggunakan petunjuk yang tegas sehingga memerlukan
penggalian hukum yang dilakukan oleh ulama. Oleh karena itu, ulama melakukan
kegiatan akademik dalam rangka memperoleh dan menangkap maksud Allah dan
rasul-Nya melalui proses yang disebut dengan ijtihad atau istinbath. Oleh karena itu, dalam batas-batas
tertentu, ulama mujtahid juga berkedudukan sebagai penentu hukum[18].
Dengan Demikian, sumber hukum dalam
Islam adalah al-Qur’an (Allah), hadits (Nabi Muhammad Saw), dan ijtihad. Akan
tetapi, perkembangan peradaban mendorong perkembangan hukum sehingga melahirkan
sejumlah istilah teknis hukum yang juga menggambarkan konsep dan situasi hukum
yang berbeda-beda.
- Pengertian Motode Penemuan Hukum
Islam
Dalam istilah ilmu Ushul Fiqh motedo
penemuan hukum dipakai dengan istilah “istinbath”. Istinbath artinya
adalah mengeluarkan hukum dari dalil, jalan istinbath ini memberikan
kaidah-kaidah yang bertalian dengan pengeluaran hukum dari dalil.[19] Imam Al-Ghazali dalam kitabnya “Al-Mustashfa,
memasukan dalam bab III dengan judul “Thuruqul Istitsmar”. Jika dilihat
tujuan mempelajari Ushul Fiqh maka passwar yang paling penting
dalam mempelajari ilmu tersebut adalah agar dapat mengetahui dan mempraktekkan
kaidah-kaidah cara mengeluarkan hukum dari dalilnya.
Dengan demikian metode penemuan hukum
merupakan thuruq al-istinbath yaitu cara-cara yang ditempuh seorang
mujtahid dalam mengeluarkan hukum dari dalilnya, baik dengan menggunakan
kaidah-kaidah bahasa (lingkuistik) maupun dengan menggunakan
kaidah-kaidah Ushuliyah lainnya.
Dengan demikian istinbath adalah cara
bagaimana memperoleh ketentuan Hukum
Islam dari dalil-dalilnya sebagaimana dibahas dalam ilmu
Ushul Fiqh. Usha memperoleh ketentuan hukum dari dalilnya itulah yang disebut
istinbath. Beristinbath hukum dari dalil-dalilnya dapat dilakukan dengan jalan
pembahasan bahasa yang dipergunakan dalam dalil
Al Quran atau Sunnah Rasul, dan dapat pula dilakukan
dengan jalan memahami jiwa hukum yang terkandung dalam dalilnya, baik yang
menyangkut latar belakang yang menjadi landasan ketentuan hukum ataupun yang
menjadi tujuan ketentuan hukum.[20]
BAB II
Pembahasan
- Permasalahan
Konsep penemuan hukum merupakan teori
hukum terbuka yang pada pokoknya bahwa suatu aturan yang telah dimuat dalam
ketentuan-ketentuan hukum yang ada dalam Al Quran dan Hadis serta hukum postif
(baca ; undang-undang, qanun dan fiqh) dapat saja dirubah
maknanya, meskipun tidak ada diubah kata-katanya guna direlevasikan dengan
fakta konkrit yang ada. Keterbukaan sistem hukum karena terjadi kekosongan
hukum, baik karena belum ada undang-undangnya maupun undang-undang tidak jelas.
Persoalan hukum yang tidak jelas bunyi teks suatu undang-undang, maka dalam
metode penemuan hukum dapat dilakukan dengan beberapa metode seperti metode bayani,
ta’lili dan istislahi.
Dari uraian yang telah penulis
kemukakan di atas, untuk mendapatkan suatu gambaran dan batasan, maka yang
menjadi permasalahan dalam penulisan makalah ini adalah : Bagaimana bentuk
penemuan hukum dengan metode istislahi ?
- Penjelasan
Sebagaimana halnya metode ijtihad
lainya, al-maslahat al-mursalah juga merupakan metode penemuan
hukum yang kasusunya tidak diatur secara eksplisit dalam Al Quran dan
Hadis. Hanya saja metode ini lebih menekankan pada aspek maslahat secara langsung.
Sehubungan dengan metode ini, dalam ilmu Ushul Fiqh dikenal ada tiga macam maslahat,
yakni maslahat mu’tabarah, maslahat mulghat dan maslahat
mursalat. Maslahat yang pertama adalah maslahat yang diungkapkan
secara langsung baik dalam Al Quran maupun dalam Hadit. Sedangkan
maslahat yang kedua adalah yang bertentangan dengan ketentuan yang
termaktub dalam kedua sumber hukum Islam tersebut. Di antara kedua maslahat
tersebut, ada yang disebut maslahat mursalat yakni maslahat yang tidak
ditetapkan oleh kedua sumber tersebut dan tidak pula bertentangan dengan
keduanya.[21]
Istilah yang sering digunakan dalam
kaitan dengan metode ini adalah istislahi. Istislah adalah suatu cara
penetapan hukum terhadap masalah-masalah yang tidak dijelaskan hukumnya oleh
nash dan ijmak dengan mendasarkan pada pemeliharaan al-mashlahat
al-mursalat.[22]
Pada dasarnya mayoritas ahli Ushl Fiqh
menerima metode maslahat mursalat. Untuk menggunakan metode tersebut
mereka memberikan beberapa syarat. Imam Malik memberikan persyaratan sebagai
berikut:[23]
a.
Maslahat
tersebut bersifat reasonable (ma’qul) dan relevan (munasib) dengan
kasus hukum yang ditetapkan.
b.
Maslahat
tersebut harus bertujuan memelihara sesuatu yang daruri dan
menghilangkan kesulitan (rad’u al-haraj), dengan cara menghilangkan masyaqqat
dan madharrat.
c.
Maslahat
tersebut harus sesuai dengan maksud disyari’atkan hukum (maqashid
al-syari’ah) dan tidak bertentangan dengan dalil syara’ yang qath’i.
Sementara itu Al Ghazali menetapkan
beberapa syarat agar maslahat dapat dijadikan sebagai penemuan hukum.[24]
1.
Kemaslahatan
itu masuk kategori peringkat daruriyyat. Artinya bahwa untuk menetapkan
suatu kemaslahatan, tingkat keperluannya harus diperhatikan, apakah akan sampai
mengancam eksistensi lima unsur pokok maslahat atau belum sampai pada batas
tersebut.
2.
Kemaslahatan
itu bersifat qath’i, artinya yang dimaksud dengan maslahat tersebut
benabenar telah diyakini sebagai maslahat tidak didasarkan pada dugaan (zhan)
semata-mata.
3.
Kemaslahatan
itu bersifat kulli, artinya bahwa kemaslahatan itu berlaku secara umum
dan kolektif, tidak bersifat individual. Apabila maslahat itu bersifat
individual maka syarat lain yang harus dipenuhi adalah bahwa maslahat itu
sesuai dengan maqashid al-syari’ah.
Berdasarkan ungkapan tersebut di atas,
maka dapat dipahami bahwa antara metode penemuan hukum istislahi sangat
erat kaitaannya dengan maslahat. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam
Malik bahwa maslahat itu harus sesuai dengan tujuan disyariatkannya hukum dan
diarahkan pada upaya menghilangkan segala bentuk kesulitan. Bentuk penemuan
hukum berdasarkan istislahi suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar,
tetapi juga tidak ada pembatalannya. Jika terdapat suatu kejadian yang tidak
ada ketentuan syari’at dan tidak ada ‘illat yang keluar dari syara’
yang menentukan kejelasan hukum kejadian tersebut, kemudian ditemukan
sesuatu yang sesuai dengan hukum syara’, yakni suatu ketentuan yang berdasarkan
pemeliharaan kemadaratan atau untuk menyatakan suatu mamfaat, maka kejadian
tersebut dinamakan istishlahi.
Melihat proses penetapan hukum terhadap
suatu maslahat yang ditunjukan oleh khusus. Dalam hal ini adalah penetapan
suatu kasus bahwa hal itu diakui oleh salah satu bagian tujuan syara’. Proses
seperti itu disebut istislah (menggali dan menetapkan suatu masalah).[25] Walaupun para ulama berbeda dalam
memandang metode ini, hakikatnya adalah satu, yaitu setiap mamfaat yang di
dalamnya terdapat tujuan secara umum, namun tidak terdapat dalil yang secara
khusus menerima atau menolaknya.
Sedangkan menurut Al Ghazali istislahi
menurut pandangannya adalah suatu metode istidlal (mencari dalil) dari
nash syara’ yang tidak merupakan dalil tambahan terhadap nash syara’, tetapi ia
tidak keluar dari nash syara’. Menurut pandangannya, ia merupakan hujjah qath’iyyat
selama mengandung arti pemeliharaan maskud syara’, walaupun dalam
penetapannya zhani.[26]
Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa
metode penemuan hukum dengan istislahi itu difokuskan terhadap lapangan yang
tidak terdapat dalam nash, baik dalam Al-Quran maupun As Sunnah yang
menjelaskan hukum-hukum yang ada penguatnya melalui suatu i’tibar. Juga
difokuskan pada hal-hal yang tidak didapatkan adanya ijma’ atau qiyas
yang berhubungan dengan kejadian tersebut. Hukum yang ditetapkan dengan istislahi
seperti pembukuan Al Quran dalam satu mushaf yang dilakukan oleh Usman Ibn
Affan, khalifah ketiga. Hal itu tidak dijelaskan oleh nash dan ijma’,
melainkan didasarkan atas maslahat yang sejalan dengan kehendak syara’ untuk
mencegah kemungkinan timbulnya perselisihan umat tentang Al Quran.[27]
Dari uraian di atas jelaslah bahwa
istislahi merupakan cara penemuan hukum yang berdiri sendiri, yang beramal
dengan al-maslahat al-mursalat, ijma’, ‘urf dan kaidah raf al-harj
wa al-masyaqqat.
3.
Analisa
Konsep penemuan hukum oleh Juris Islam
terutama dipelopori aliran system hukum terbuka, yang pada pokoknya bahwa suatu
peraturan hukum dapat saja dirubah maknanya, meskipun tidak diubah kata-katanya
guna direlevansikan dengan fakta yang konkrit yang ada. Keterbukaan sistem
hukum Islam karena dalam rangka mencapai kemaslahatan. Jika dalam suatu aturan
hukum belum ada dan atau hukum masih bersifat normatif yang belum jelas
maknanya, maka metode penemuan hukum dilakukan dengan metode bayani
(penafsiran), metode ini ternyata menentukan arti kata-kata terhadap sebuah
teks dengan tetap berpegang pada bunyi teks.
Kegiatan penemuan hukum menjadi model
dalam kontruksi Hukum Islam karena memang hukum Islam lebih bersifat aspiratif
dalam menjawab berbagai problema yang timbul dalam masyarakat. Tidak heran
teori-teori tentang penemuan hukum lahir dari fuqahak karena ilmu pengetahuan
hukum Islam selalu dinamis ketimbang dengan ilmu lainnya. Hal ini berhubungan
dengan kenyataan bahwa dalam msyarakat Islam justru persoalan fiqh merupakan
persoalan hidup sehari-hari khsususnya dalam aspek fiqh ibadah dan
mu’amalahnya.
Penerapan sebuah hukum harus didahului
dengan aktifitas penemuan hukum yang lazim diartikan sebagai proses pembentukan
hukum oleh para penegak hukum dan fuqaha’ dalam proses menyelesaikan
peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. Penemuan hukum merupakan upaya bahwa
seakan-akan hukumnya sudah ada, dan suatu peristiwa yang tidak ada ketentuan
hukumnya harus pula dilakukan melalui ijtihad sehingga hukumnya ditemukan.
Dengan demikian terbentuklah hukum atas peristiwa tersebut.
Penemuan hukum dapat saja dilakukan
oleh hakim sebab hasil temuan hukum oleh hakim adalah hukum. Ilmuwan hukum yang
mengadakan penemuan hukum, baik melalui penelitian, maupun hasil pemikirannya
dapat dikatakan sebagai ilmu dan doktrin, jika diambil oleh hakim maka akan
menjadi hukum.
Aturan hukum yang bersifat normatif
kadang-kadang kurang jelas, rinci dan lengkap, sedangkan fakta dan peristiwa
selalu muncul di luar ketentuan yang ada dan ini diperlukan penyelesaian
menurut hukum. Begitu juga halnya dengan teks ayat dan hadis yang kadang-kadang
hanya memuat aturan normatif sehingga perlu penemuan hukum atau aturan
undang-undang yang dibuat oleh pembuat undang-undang tidak mungkin menduga
peristiwa yang akan terjadi ke depan walaupun teks undang-undang jelas tentu
masih membutuhkan penemuan hukum untuk mencocokan dengan kebutuhan zaman tentu
dengan tetap mengacu pada aturan yang sudah digariskan dalam teks. Hukum itu
ada, akan tetapi harus ditemukan, hakim tidak semata-mata menerapkan hukum,
akan tetapi menemukan hukum.
Penemuan hukum istislahi dimaksudkan
untuk mengetahui tujuan syariat dan merealisasikannya sehingga mampu
menyelesaikan permasalahan hukum yang sedang dihadapi. Dalam keadaan demikian
penemuan hukum dengan istislahi merupakan suatu jalan keluar dari kekakuan
hukum.
4.
Kesimpulan dan Penutup
Adanya perbedaan pendapat dikalangan
ulama’ mengenai penggunaan istishlah sebegai metode Ijtihad adalah karena tidak
adanya dalil khusus yang menyatakan diterimanya oleh syara’ baik secara
langsung maupun secara tidak langsung. Sebagaimana dijelaskan oleh para Ulama’,
diamalkannya istishlah oleh jumhur Ulama’ adalah karena adanya dukungan syar’i,
meskipun secara tidak langsung.
Dari uraian yang telah penulis paparkan
di atas, maka terakhir dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.
Metode penemuan
hukum adalah cara-cara yang ditempuh seorang mujtahid dalam mengeluarkan hukum
dari dalilnya, baik dengan menggunakan kaidah-kaidah bahasa (lingkuistik) maupun
dengan menggunakan kaidah-kaidah Ushuliyah lainnya.
2.
Dalam
perspektif penemuan hukum Islam dikenal juga dengan istilah metode penemuan
hukum al-bayan, ta’lili dan istislahi.
3.
Metode penemuan
hukum istislahi adalah metode penemuan hukum yang stresingnya lebih menekankan
pada aspek maslahat secara langsung.
Daftar Pustaka
Abdoerrahman, Asjmuni. Metode Penetapan Hukum Islam, Cet. 2.
Jakarta: PT. Bulan Bintang. 2004.
Al-Bukhari, Abi ‘Abdullah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn al-Mugirah
Ibn Bardazabah al-Ja’fi, Shahih al-Bukhari jilid III juz IV.
Indonesia: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyat. 1981
Al-Ghazali. al-Mustahasfa min ‘Ilmi al-Ushul, Jilid II. Kairo: Sayyid
al-Husein, tt,
Al-Thahan, Mahmud. Tafsir Musthalah al-Hadits. Surabaya: Bunkul
Indah. 1985.
al-Rabi’ah, Abdul Aziz Ibn Abdurrahman Ibn Ali. Adillat al-Tasyri’
al-Mukhatalaf Fi al-Ihtijaj Biha. Mu’assasat al-Risalat. Cet. 1, 1399 H /
1979.
Az-Zuhaily, Wahbah. Konsep Darurat
dalam Hukum Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama. 1997.
----------------. Ushul al-Fiqh al-Islamy. Beirut: Daar al-Fikr.
1986.
Basyir, Ahmad Azhar. Pokok-Pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam.
Yogyakarta: UII Pres Yogyakarta. 1984.
Effendi, Satria. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana. 2005.
Hakim, Abdul Hamid. al-Sullam. Jakarta dan Padang Panjang: Sa’adiyah
Putra. t.th.
Harun, Nasrun. Ushul Fiqh. Jakarta: Logos. 1997.
Jamil, Fathurrahman. Filsafat Hukum
Islam. Jakarta:
Logos Wacana Ilmu. 1997
Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul al-Fiqh. Jakarta: Al-Majlis
al-A’la al-Indonesi li al-Da’wah al-Islamiyyat. 1972.
-----------------. Ilm Ushul Fiqh. Kuwait: Daar
al-Fikr. 1978.
Mahmood. Tahir, Personal Law in Islamic Countries (History Teks and
Comparative Analysis). New Delhi: New Delhi For the Academi of law and
Religion, 1987.
Mubarok, Jaih. Hukum Islam: Konsep, Pembaruan dan Teori Penegakkan.
Bandung: Benang Merah Press. 2006.
Mudzhar, M. Atho’, Pengaruh Faktor Sosial Budaya terhadap Produk Pemikiran
Hukum Islam, dalam Jurnal Mimbar Hukum No. 4 tahun II. Jakarta: AI-Hikmah
dan Ditbinbapera Islam. 1991.
Praja, Juhaya S., Filsafat Hukum Islam. Bandung: PT. Lathifah Press.
2004
Qardhawi, Dr. Yusuf. Malamih
al-Mujtama al-Muslim Alladzi Nansyuduhu. Kairo: Maktabah Wahbah. 1993.
Sabiq, al-Sayid. Fiqh al-Sunnah jilid II. Beirut: Dar al-Fikr. 1983.
Syafi’ie, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih. Cet. 1. Bandung: Pustaka Setia.
1999.
Syah, Ismail Muhammad. Filsafat Hukum Islam. Jakarta:Bumi Aksara.
1992.
Yahya, Mukhtar. Dasar-dasar Pembinaan Fiqh Islam. Bandung:
Al-Maarif. 1983.